Meski Bisa, Tapi Aku Malu Membacakan Sebuah Berita

•14 Desember 2010 • Tinggalkan sebuah Komentar

oleh: Arum Tyas Sulistyani

SMP Muhammadiyah Pekajangan

Kita tahu bahwa keterampilan membaca sangat penting. Keterampilan membaca akan memberikan pengetahuan yang luas bagi setiap siswa, karena dengan membaca siswa dapat memperoleh informasi-informasi yang penting. Macam membaca ada beberapa jenis, antara lain: membaca dalam hati, membaca nyaring, dan membaca indah. Ketiga keterampilan tersebut harus dimiliki dan dikuasai oleh para siswa SMP. Namun, pada kenyataannya keterampilan membaca yang dimiliki oleh siswa masih sangat rendah. Mereka masih sulit untuk menemukan isi bacaan dan membaca dengan suara nyaring dengan teknik-teknik membaca.

SMP Muhammadiyah Pekajangan merupakan salah satu SMP swasta di Kabupaten Pekalongan. Kondisi siswa di SMP ini sangat heterogen. Keterampilan yang dimiliki oleh siswa, baik itu akademik maupun non akademik tidak begitu menonjol. Namun, mereka adalah anak-anak bangsa yang harus dididik menjadi generasi penerus bangsa, menjadi manusia yang cerdas, dan berakhlak mulia.

Pada suatu kesempatan mengajar bahasa Indonesia di kelas VIII, saya mengajarkan kepada siswa-siswa saya mengenai materi membacakan berita. Standar kompetensi materi tersebut adalah memahami ragam wacana tulis dengan membaca ekstensif, membaca intensif, dan membaca nyaring. Kompetensi dasarnya adalah membacakan teks berita dengan intonasi yang tepat serta artikulasi dan volume suara yang jelas. Dari rumah saya sudah menyediakan silabus, RPP, materi, dan beberapa media yang akan saya gunakan.

Sebelum pelajaran dimulai saya awali dengan mengucapkan salam pembuka dan presensi. Mereka menjawab salam saya dengan kompak. Pada hari itu semua siswa masuk. Saya lanjutkan dengan mengkondisikan mereka untuk siap belajar. Namun, saya memerlukan waktu yang lama. Mereka tidak memperhatikan saya dan gaduh sendiri di dalam kelas. Bahkan ada beberapa siswa laki-laki yang jalan-jalan sendiri di kelas tanpa ada tujuan. Saya merasa kewalahan untuk mengatasinya. Saya coba menepukkan tangan saya dengan memberikan instruksi untuk siap belajar bahasa Indonesia. Mereka terdiam dan mengeluarkan buku bahasa Indonesia.

Saya lanjutkan dengan memberi tahukan mengenai kompetensi dasar dan tujuan pembelajaran yang akan saya lakukan. Memasuki materi pembelajaran saya awali dengan tanya jawab. Saya berusaha menggali pengetahuan mereka mengenai berita dan membacakan berita. Satu pertanyaan saya ajukan “Siapa yang pernah mendengarkan berita dan mencoba membacakan berita?” Tidak ada satupun dari mereka yang menjawab. Mereka justru sibuk membalik-balik buku paket. Saya ulangi lagi pertanyaan tersebut. Dan dengan segera mereka menjawab pertanyaan saya dengan kompak “Sudah, Bu”. Saya sedikit senang dengan respon mereka, karena itu berarti mereka sudah memperhatikan saya. Setelah itu saya lanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan lain, misalnya tentang pengertian berita, unsur-unsur berita, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membacakan berita, dan lain sebagainya. Mereka menjawabnya dengan bergiliran. Dari jawaban-jawaban yang diberikan oleh siswa tersebut bisa disimpulkan bahwa 75% dari mereka paham mengenai materi membacakan berita.

“Hm…bosen ya? Dari kelas satu selalu belajar mengenai berita”, kata salah satu siswa kepada teman satu bangkunya. Mendengar pernyataan tersebut saya segera memutar otak untuk membuat suasana belajar yang menyenangkan dan tidak membosankan. Usaha tersebut saya awali dengan mencetuskan password untuk setiap mata pelajaran saya. Setiap kali saya mengatakan “oke?”, mereka harus menjawabnya “eko”. Hal tersebut saya kira bisa membangun konsentrasi dan semangat mereka.

Lebih lanjut tentang kisah ini, klik di sini

Case Study

•31 Oktober 2010 • Tinggalkan sebuah Komentar

Oleh: Suprihatinharyanto

Pagi ini aku sampai sekolah pukul 07.05. Masih ada waktu 10 menit untuk mempersiapkan segala sesuatu yang akan kubawa ke kelas IX B, kelasku mengajar dua jam pertama hari ini. Buku jurnal, absensi dan daftar nilai, lembar foto copy beberapa cerpen dan buku paket bahasa Indonesia kelas IX kutenteng masuk ke kelas begitu bel tanda masuk berbunyi.

Anak-anakku yang manis, mereka sudah tertib duduk di dalam kelas dan memulai pelajaran dengan berdoa bersama. Al-Fatihah, doa menuntut ilmu, doa untuk kedua orang tua dan doa sapu jagad mereka lantunkan dengan kompak . Kutambahkan doa dalam hati, ya Allah…berkahilah kami di pagi ini untuk tetap dalam ridhoMu. Amin. Selesai berdoa, kusapa mereka dengan salam dan melihat apakah ada yang absen hari ini. Alhamdulilah masuk semua.

Hari ini sesuai dengan rencana aku akan mengajarkan kepada mereka bagaimana menganalisis unsur intrinsik cerpen: tema, penokohan dan latar, dari beberapa cerpen. kulempar sebuah pertanyaan, ” Siapa di antara kalian yang belum pernah membaca cerpen?”. Segera mereka setengah berteriak,  ” sudaaah bu…”. Kami kemudian saling berbagi cerita berapa sering membaca cerpen, diambil dari mana, apa manfaatnya. Dari celoteh itulah kumasuki pemahaman terhadap mereka beberapa manfaat membaca cerpen dalam kehidupan mereka.

Materi unsur intrinsik cerpen sudah mereka dapatkan sejak kelas VII jadi aku hanya berusaha menggali ingatan mereka tentang apa itu tema, penokohan dan latar melalui kegiatan tanya jawab. Setelah itu siswa membentuk kelompok . Jumlah siswa di kelas ini 3o anak. Kuputuskan untuk membagi mereka dalam 5 kelompok besar, sehingga masing-masing kelompok beranggotakan 6 orang. Pembagian kelompok berdasarkan  kedekatan tempat duduk. Dari kelompok yang berenam itu dibagi lagi manjadi dua kelompok kecil, masing-masing beranggota tiga orang. Tugas untuk mereka adalah mencoba untuk menganalisis ketiga unsur tersebut. Masing-masing kelompok menganalisis dua cerpen yang berbeda. Satu kelompok kecil mengerjakan satu cerpen. Mereka berdiskusi kelompok kecil menentukan ketiga unsur tersebut. Setelah selesai, saling berbagi hasil dengan kelompok besar sehingga semua anggota kelompok mengetahui unsur kedua cerpen tersebut. Cerpen diambil dari LKS dengan judul Senyum Ayah sedang Sakit dan Anak Panah.

Kuamati mereka dengan berkeliling mendekati kelompok demi kelompok sambil sesekali mengomentari cara kerja mereka.Kulihat kelompok Ria Fika paling tertib dan sungguh-sungguh berdiskusi. Kelompok Anita lebih banyak diam dan bekerja sendiri-sendiri. Kelompok wisnu lebih banyak guyon sedangkan yang lainnya …kategori umum.

Lebih lanjut baca di sini

Dapatkah Aku Meng-SPJ-kannya

•31 Oktober 2010 • Tinggalkan sebuah Komentar

Oleh: Widisetyo

Pagi itu di sekolah agak ramai. Usut punya usut ternyata ada kabar gembira. Tunjangan sertifikasi telah turun. Alhamdulillah. Berarti angka di rekeningku akan bertambah. Ketika temanku pergi ke bank, aku titip untuk ngeprint buku tabunganku.

Ketika buku tabungan ada di tangan, segera kubuka. Subhanallah. Ada tambahan 8 digit angka di situ. Jumlah yang tidak sedikit untuk ukuranku yang terbiasa hidup sederhana.

Begitu bel berbunyi, aku segera menuju kelasku. Kutatap wajah-wajah polos murid-muridku. Mereka tidak tahu bahwa pada saat itu gurunya baru saja menerima tunjangan yang sangat besar karena telah menjadi guru. Profesi yang dianggap sangat mulia karena telah mencerdaskan kehidupan anak-anak bangsa. Begitu mulianya profesi guru, sehingga pemerintah dan masyarakat perlu memberi gelar “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Tak cukup hanya itu. Karena mulianya profesi ini, pemerintah merasa perlu memberikan tunjangan tambahan yang besarnya luar biasa.

Setelah mengajar aku pun kembali ke ruang guru. Ketika temanku bertanya berapa besarnya tunjangan yang aku terima. Aku pun menjawab dengan suara lirih.

Setiap kali tunjangan profesi turun, dan aku melihat besarnya uang yang tercantum pada rekening banku aku selalu tercekat. Ada rasa senang, takut, dan berbagai rasa yang bercampur aduk. Aku merasa senang karena dengan uang tersebut aku bisa membayangkan anakku kuliah di perguruan tinggi. Cita-citanya menjadi dokter kandungan. Dia beranggapan Indonesia butuh dokter kandungan perempuan karena pasien kandungan adalah perempuan, sementara kebanyakan dokter kandungan di Pekalongan semuanya laki-laki. Anakku, semoga dengan tunjangan profesi ini ibu mampu mengantarkanmu mewujudkan cita-citamu.

Lebih lanjut silakan klik di sini

Wajah Mata Anakku

•12 Agustus 2010 • Tinggalkan sebuah Komentar

Oleh: Bahtiyar Zulal

Ketika aku memutuskan menjadi seorang guru, ada perasaan yang terasa begitu mengganjal, bukan lantaran aku tidak ingin menjadi seorang “guru” tetapi aku memandang profesi seorang guru itu adalah sebuah pilihan pekerjaan yang luar biasa beratnya, rasa tanggung jawab yang begitu besar dan harus menjadi sosok yang begitu sempurna baik di depan anak didik maupun di tengah masyarakat.

Dikeluargaku sebagian besar profesinya adalah seorang guru,Bapakku,pamanku, Kakekku baik dari Bapak maupun dari Ibu. dari mereka semua aku sedikit tahu dan sedikit mengerti tentang bagaimana suka dukanya menjadi seorang guru. tentu saja guru pada saat aku masih kecil dengan guru sekarang sangat jauh berbeda. dari penampilannya,gaya hidupnya sampai ikatan emosional antara guru-anak didik.

Di tahun-tahun pertama aku menjadi seorang guru perasan terberat yang aku rasakan adalah memastikan terkendalinya emosi, bagaimana tidak, karena sebelumnya selama ini aku selalu hidup di jalanan dan selalu pindah-pindah dari tempat satu ke tempat tinggal yang lain, dan dengan begitu tiba-tiba semuanya harus terhenti dan dibatasi dengan begitu banyaknya peraturan baik yang tertulis maupun peraturan dalam bentuk tata nilai di masyarakat. bahkan aku pernah mengalami suatu kondisi yang begitu kritis karena harus memilih antara terus atau berhenti. hanya karena aku merasa telah menentukan pilihan saja yang membuat aku malu jika disebut pengecut.

Tapi bagaimana aku bisa sekolah di keguruan ?, itu juga sebuah episode kehidupanku lagi, semua berawal dari ketidak pahamanku tentang sekolah, itupun baru aku sadari saat aku hampir selesai sekolah. semua berawal ketika aku masih sekolah di SMA (aku juga pernah sekolah di STM jurusan Mesin di kota Kertosona, Nganjuk) di Sekolah suwasta pada saat itu semua orang yang dipandang mampu mengajar bisa menjadi guru, tidak harus dari sarjana keguruan, Kepala sekolahku seorang Insinyur lulusan universitas Brawijaya Malang (Ir.Nanang Harsono), guru Kimiaku seorang Insinyur lulusan Institut Teknologi sepuluh Nopember/ITS Surabaya (Ir.Putu Indra Setiawan) begitu juga dengan guru Bahasa Inggrisku Beliau Orang yang lama tinggal di Malborne Australia (Saiful). suatu ketika guru Bahasa Inggrisku itu memberi tawaran kepadaku dan seorang temanku, jika dia bisa merekomendasikan aku dan temanku untuk bekerja di tempat kerjanya yang dulu asal bisa menguasahi Bahasa Inggris dengan baik, tentu saja kami berdua tertarik dengan tawaran itu, maka begitu kami lulus SMA pertama yang kami lakukan adalah mencari lembaga pendidikan Bahasa Inggris yang paling murah dan cepat, temanku pergi ke kota Pare, Kediri dan aku pergi ke Semarang karena pertimbangan biaya, aku mempunyai keluarga di Semarang, dan aku ikut test Sipenmaru mengambil berkas IPC karena SMA ku jurusan A2 (Imu-ilmu Biologi). pilihan pertama tentu saja Bahasa Inggris D2,pilihan kedua juga Bahasa Inggris dan pilihan ketiga tentu saja harus dari jurusan IPA maka aku isi saja dengan Fisika D2, singkat cerita: begitu pengumuman apa yang terjadi ternyata aku di terima di jurusan Fisika D2, tentu saja aku bingung apa yang harus aku lakukan ? (waktu itu aku belum mengerti bahwa IKIP itu sekolahnya calon guru, aneh kan ?) dan dengan pertimbangan sana-sini akhirnya aku tetap menjalani sekolah itu meskipun dengan perasaan agak berat, akhirnya rampung juga (sedikit cerita bahwa nilaiku waktu sekolah sebagian besar adalah pemberian Tuhan, hampir tanpa usaha) itulah sebabnya kenapa aku sampai sekarang begitu percaya dengan kekuatan do’a.

Setelah tiga tahun aku menjadi guru aku mulai sedikit mengerti bagaimna mestinya jadi seorang guru itu, semakin lama semakin membaik pemahamanku tentang profesi guru dan lama-lama aku begitu mencintai pekerjaanku. sebagai seorang guru satu hal yang aku tidak mengerti adalah perubahan kejiwaanku terhadap anak-anak didikku, aku semakin memiliki ikatan emosional yang sngat kuat terutama jika aku menjadi wali kelas. bukan hanya ketika masih mendampingi mereka tapi setelah mereka keluar dari sekolah. aku masih ingat banyak sekali kejadian pada waktu itu yang tidak pernah aku lupakan sampai sekarang, misalnya kejadian pada jam 12 malam ada orang ketuk-ketuk pintu rumahku, tentu saja aku sempat bertanya-tanya siapa malam-malam begini ketuk-ketuk pintu ?, begitu aku buka, apa yang aku saksikan ? dua orang anak sambil cengar-cengir bilang padaku ” Pak anak-anak sedang heking ke Desa Windurojo, Bapak sekarang di suruh kesana.!” tentu saja aku marah sekali waktu itu, bagaimana tidak ? Heking atas nama sekolah apa pribadi juga tidak tahu, ijin orang tua apa tidak ? bermalam lagi !, tapi apa jawab mereka ?,”Berangkat sekarang pak !” (lha dhalah ini anak !) tentu saja akhirnya aku mengalah. di kejadian yang lain aku pernah naik motor di Kajen dan kebetulan mogok di tengah jalan, tiba-tiba ada orang dari belakang menghampiriku dan bertanya ” Kenapa Pak ?” aku jawab “tidak tahu, tiba-tiba mogok ?” dia bilang “saya dorong ya Pak !, ke bengkel dekat situ kok !” “Ayo !” jawabku, sampai di bengkel orang itu mendekatiku kemudian bertanya “lupa sama saya ya Pak ?” “tidak !” jawabku (kelihatannya dia tidak yakin dengan jawabanku) dan dia menambahi pertanyaannya ” Aku murid bapak yang mbeling dulu !” (dalam batinku hanya bisa berkata ” SubkhanaLLAH..!!). sejak saat itu aku mulai mengerti dan menyadari kenapa para ahli pendidikan seperti Prof.Arif Rahman itu mengatakan jika seorang guru harus menghukum seorang anak hukuman fisik sekalipun ” Hukumlah dengan hati”. Karena anak-anak yang sekarang ini, yang terkadang kita lupa menyebutnya nakal, kurang ajar,tidak punya akhlak dan seterusnya itu ternyata jika telah datang tingkat ke’sadar’annya semua akan menjadi harta yang tidak ternilai harganya.

Sebenarnya ketika aku mengajar SMP 2 Talun, kebiasaanku dekat dengan anak-anak seperti itu akan berusaha aku hilangkan, karena keterbatasan waktuku dan tenagaku yang semakin habis di perjalanan begitu mengkhawatirkan, aku tidak mau anak-anakku’ itu menjadi terluka hatinya karena memang kondisiku yang tidak sanggup untuk di toleransi, walaupun naluri itu kadang-kadang muncul lagi tidak bisa dibendung,cerita anakku’ jazaul khoeroh dan anak kandungku tifani misalnya, Jazaul khoiroh adalah anakku’ yang paling pinter di Sekolah dalam hampir semua pelajaran, terutama pelajaranku (IPA) belum pernah mendapatkan nilai ulangan kurang dari 6, maka betapa kagetnya aku ketia try out tingkat Kabupaten kemarin mendapat nilai 3 untuk pelajaran IPA, ketika aku panggil aku hanya menanyakan ” sebenarnya ada apa ? ” dia hanya menjawab “iya Pak !” tetapi ternyata ceritanya belum selesai sampai disitu, ketika pengumuman kelulusan kemarin dia meraih nilai terbaik rata-ratanya lebih dari 8, tetapi anehnya dia tidak terlihat begitu gembira seperti teman-teman lainnya, dan akhirnya aku tanya ( pertanyaan yang sering aku sampaikan padanya ) “Bagaimana ?” jawabnya:”dia cuma menangis..!! ” aku tanya lagi “Soal biaya ya ?” dia menjawab dengan tatapan mata yang kosong “Iya Pak !” aku langsung menjawab ” kamu sekarang pulang !” karena aku tidak sanggup menatap “wajah mata anakku itu” dan hanya merintih sedih dalam hati “Ya ALLAH apa maksud-MU ?, tolonglah hambamu ini diberi pemahaman !” dan akhirnya dengan sisa tenagaku akupun pulang, bumi tempat ku berpijak rasanya bergoyang, melangkah terasa bagaikan terbang…, sedih… perih… sakit rasanya… ketika sampai di depan rumah kudapatkan anakku dengan wajah ketakutan “Abah… Aku gagal naik kelas..! maafkan aku..? akhirnya air mataku tak sanggup kutahan..!!

Hari-hari ini aku hanya sanggup memanjatkan do’a, membesarkan hati anak-anakku, ” Ya ALLAH jika semua itu terjadi karena keadilan-MU, berikanlah mereka kesabaran jiwa, berikanlah mereka keteguhan hati, berikanlah mereka kekuatan Iman, agar kelak dia menjadi manusia yang seluruh hidupnya hanya untuk mengabdi kepada-MU” tetapi jika semua itu terjadi karena lampiasan segelintir nafsu, aku mohon kepada-MU… Ya ‘Azis…aku mohon kepada-MU ya ‘ADHIM… aku mohon kepada-MU ya ‘ADIL… tunjukkanlah kepadaku keperkasaan-MU… tunjukkanlah kepadaku… keagungan-MU…Amin..! Amin..! Amin..!

SMPKU: ANDAI BISA MENJADI BUNGA BOUGENVILLE

•12 Agustus 2010 • Tinggalkan sebuah Komentar

Oleh: Musafak, S.Ag.

SMP tempatku mengajar berada di tempat yang cukup tinggi, bukit sengare namanya. Udaranya sangat sejuk, kalau musim penghujan airnya cukup untuk menggigilkan badan dan kabutnya bisa menghalangi jarak pandang. Pemandangannya sangat indah karena di dekat sekolahku terhampar perkebunan teh yang luas membentang.

Bangunan sekolahku cukup bersahaja, kalau tidak dibilang memprihatinkan. Fasilitas penunjang pembelajaran cukup ada bila standardnya adalah sekolah pegunungan. Rombongan belajarnya ada 9 dengan jumlah guru mencapai duapuluhan. Tentu jumlah yang tidak seimbang dan cukup membuat pusing si pembuat jadwal (kurikulum).

Tapi di balik itu semua dan dengan segala keterbatasan yang ada, SMPku ternyata memendam seribu potensi dan talenta yang luar biasa. Para siswa yang begitu gigih, bersemangat, dan pantang menyerah dalam belajar. Berkilo-kilo jarak membentang, medan jalan yang terjal naik turun menyusuri perbukitan dan keluar masuk hutan dilalui setiap hari dengan berjalan kaki. Keadaan tersebut tidak menjadi penghalang bagi anak-anakku untuk menggapai asa dan cita-cita menjadi anak yang berilmu dan berguna. Berbagai macam prestasi telah dicapai anak-anakku sebagai pengharum nama SMP ku.

Begitu pun dengan teman-teman senasib seperjuanganku yang sangat luar biasa dalam menjalankan amanatnya. Setiap hari harus menempuh perjalanan berpuluh-puluh kilometer walau dengan keadaan jalan yang sangat memprihatinkan dan kondisi alam yang melelahkan, tapi wajah penuh senyum yang tampak ketika samapai di tujuan.

Dengan berbagai macam latar belakang, keahlian, kepribadian dan talenta yang berbeda andaikan dapat membaur dan bersinergi dalam suasana kekeluargaan yang begitu harmonis dan kondusif, aku yakin suatu hari nanti SMP ku akan menjadi BUNGA BOUGENVILLE. Satu bunga dengan selaksa warna yang berbeda tapi dapat membentuk harmoni warna yang indah dan mempesona

MENDUNG DI BUKIT SENGARE

•17 Juli 2010 • Tinggalkan sebuah Komentar

Rabu, 14 Juli 2010. Agak siang saya baru datang ke sekolah bersama Pak Taufik Ismail. Bukan menyengaja untuk terlambat. Saya harus membawa komputer yang baru dibeli untuk kebutuhan KBM ruang guru.

Membawa peralatan, apalagi peralatan elektronik ke sekolah ini memang harus hati-hati. Selain jarak yang jauh dari Kota Pekalongan (40 km), jalanan ke sekolah ini menanjak dan rusak parah. Lubang besar dimana-mana disertai tonjolan batu-batu yang licin dan berbahaya.

Hari ini Rabu, 14 Juli 2010. Kegiatan Masa Orientasi Pesert Didik Baru (MOPDB) sedang berlangsung. Namun sesaat kemudian saya mendengar, MOPDB mau dipercepat penutupannya. Kepala Sekolah, Pak Fuad Dulkhirom yang sedianya akan menutup kegiatan kabarnya diundang ke Setda pukul 12.00.

Usai kegiatan MOPD dan sesaat setelah Pak Fuad meninggalkan sekolah, berita itu pun tersiar. Pak Fuad ke Setda dalam rangka pelantikan sebagai Kepala Sekolah yang baru. Beliau dimutasi ke SMP 2 Kajen.

Beragam komentar pun muncul, mulai dari rasa tidak percaya hingga menyesali pihak Dindik, mengapa hal itu mesti dilakukan. Rasa kebersamaan yang tercipta dan gelora untuk berbenah kea rah kemajuan baru saja bergulir. Rencana-rencana “besar” belum lama digulirkan: lesson study, MIR, pembentukan tim pengembang, keterbukaan keuangan sekolah, dan rencana lainnya. Semua seolah menjadi pekerjaan rumah yang terbengkalai jadinya.

Siangnya, kepastian itu pun diterima. Pak Fuad langsung menelepon Pak Dulawi, mantan Wakil Kepala SMP 2 Talun. Mengabarkan kalau Pak Fuad telah dilantik dan mutasi ke SMP 2 Kajen. Suasana pun kian larut. Wajah guru dan TU muram dalam kedukaan dan kegundahan.

Para master scrable pun sempat menghentikan permainannya sementara mendengar berita ini. Mendung benar-benar menelungkup di wajah para guru dan TU yang masih setia berada di sekolah.
Di luar ruangan, suasana pun tak jauh berbeda. Awan hitam menggumpal. Mendung bergayut di langit. Dan benar saja, satu jam kemudian gerimis mulai menebarkan sayapnya.

Selamat jalan Pak Fuad. Selamat menempuh kegiatan di sekolah yang baru. Semoga kiprah Pak Fuad yang telah menjadi “Matahari” di SMP 2 Talun akan siap menerangi di tempat tugas yang baru.

Kidung Bukit Sengare

•19 April 2010 • 3 Komentar


Betapa lama rasanya kutak menulis tentangmu. Hari-hari yang rasanya berlalu demikian cepat, hingga tidak terasa kebersamaan itu sudah kian mengental. Adakah kisah kebersamaan itu akan menjadi sebuah monumen yang indah?


Betapa kuharus berjuang dalam rasa cinta yang mendalam. Jarak 80 kilometer setiap hari harus kulalui demi berjumpa denganmu. Bila beberapa hari kutak menjumpaimu, rasa rindu itu menghentak melumeri kalbu.

Bebukitan yang indah, semilir angin kebun teh, dan rinai hujan yang senantiasa menyapa. Rasanya, bila suatu hari kita berpisah, kenangan itu tetap abadi. Kidung Bukit Sengare akan selalu tetap merayu, menyanyikan cinta anak-anak desa yang akrab dan ramah.

Betapa ingin kutulis lebih banyak tentangmu. Kisah sehari-hari, senyuman nan menggetarkan, tegur sapa ramah para siswa, keluh kesah sebagian anak-anaknya akan UN yang kian mendekat, dan sebagainya.

Sekolahku, cinta dan harapanku. Semoga dari sini lahir anak-anak masa depan. Anak-anak yang tetap cinta padamu dan membuatmu bangga akan kesuksesan mereka.

Sekolahku tercinta, SMP 2 Talun. Bagikan senyum dikala mentari ceria bersinar dari balik rerimbunan pohon sengon dan melinjo.

Character Building, Bidang Studi yang Hilang

•9 April 2010 • 1 Komentar

Oleh: Munif Chatib

Saya melihat memang ada ketakutan yang sangat. Kemudian saya jawab dengan penuh motivasi dan semangat. “Keberadaan sekolah ini, yang akan kita namakan ‘Sekolahnya Manusia’, adalah untuk memintarkan anak-anak yang bodoh dan membaikkan anak-anak yang nakal. Sekolah ini menggunakan konsep the best process, bukan the best input. Percayalah nanti kita akan banyak menemukan keajaiban dari perubahan sifat-sifat anak didik kita yang negatif menjadi positif. Memang tugas guru menjadi berat, tidak lagi santai. Namun itulah sebenarnya tugas guru. Jangan siswa bodoh dan nakal dijadikan beban malah jadikan itu tantangan.” Wejangan saya cukup panjang dan berapi-api, ya minimal untuk memberi semangat kepala sekolah yang baru memimpin sekolahnya manusia.

Lalu apa yang terjadi setelah penerimaan siswa baru selesai. Benar, 80 % siswa kita adalah anak yang bodoh-bodoh dan nakal-nakal. Sekali lagi saya kumpulkan semua guru pada awal tahun ajaran baru. Saya berikan pelatihan tentang multiple intelligence strategy dan hal-hal yang terkait dengannya untuk persamaan paradigma dan memperkuat paradigma tersebut. Hasil dari pelatihan itu ada beberpa poin penting yang harus dipahami oleh para guru dan harus masuk ke memori jangka panjang agar tidak lupa seumur hidup.

Lebih lanjut klik di sini

Guru yang Mengajar dengan Hati

•9 April 2010 • Tinggalkan sebuah Komentar

Oleh: Munif Chatib

Sebut saja bu Riri, lulusan S1 PAUD, seorang guru kelompok bermain dan TK di sebuah kota kecil. Sekolahnya kecil, kelasnya bekas garasi mobil dan baru saja punya taman bermain yang sebenarnya berfungsi ganda. Jika pagi untuk taman bermain dan jika siang sampai malam untuk parkir kendaraan. Walhasil kalau di lihat dari fasilitas, kita semua menarik nafas panjang.

Belum lagi sekolah itu dengan beraninya menerapkan ‘multiple intelligence’ yaitu memandang semua anak cerdas dan harus punya kesempatan bersekolah. Konsep ini sangat terekam sangat kuat di otak bu Riri. Menurut dia sebenarnya tidak ada anak bodoh, tidak ada anak nakal, apalagi seusia TK. Namun bagaimana kita memberi pelayanan kepada anak-anak tersebut. Itulah kuncinya. Pada saat konsep itu dikumandangkan maka penerimaan siswa baru pada tahun ajaran baru banyak dimasuki oleh anak-anak ‘spesial’.

Namun ada yang luar biasa dari Bu Riri ini. Meskipun belum memahami konsep ‘sekolah inklusi’ bu Riri menerima dan melayani anak-anak spesial ini dengan hati dan keikhlasan yang luar biasa. Pangil saja si Budi, siswanya yang spesial. Tidak bisa diam dan selalu menggoda bahkan memukul teman-temannya. Apa yang dilakukan bu Rini? Mengumpulkan semua siswanya dan memberi penjelasan sederhana.

“Anak-anak, Budi ini tidak nakal lho, dia anak yang baik dan harus menjadi sahabat semua. Dia memukul itu disebabkan suasana yang tidak nyaman. Mungkin tadi ada yang membentak, mungkin tadi yang menarik tangannya, dan lain-lain. Anak-anak iklhas ya membantu Budi …”

Lebih lanjut bisa dibaca di sini

Kidung Rindu Ibu

•29 Maret 2010 • 4 Komentar

Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah… penuh nanah
Seperti udara kasih yang engkau berikan
Tak mampu kumembalas, ibu… ibu…

Ingin kudekat dan menangis di pangkuanmu
Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu
Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas, ibu… ibu….

mak
Ibu, emak, bunda, ummi, atau apalah istilahnya adalah orang yang semestinya paling dekat dengan kita. Dari rahimnyanyalah kita dibentuk hingga lahir dan menjadi. Di rahim, tempat terempuk dalam menerima tumpahan kasih. Entah sengaja atau tidak, nama itu menjadi nama yang selaras dengan salah satu sifat Tuhan, Asmaul Husna.

Saya memanggil ibu dengan sapaan mak. Kilas kasihnya saat aku kecil dulu masih membekas hingga kini. Bagiku ibu adalah simbolisme kasih yang tak ada batasnya. Tumpahan kasih yang tak habis-habisnya. Malah hingga kini, saat aku telah menjadi orang tua. Ibu tetap tak pernah habis rasa kasihnya.

Setiap saat, setiap waktu, saat melihat anak saya bersama umminya, saya terkenang ibu. Ibu yang terpisah jarak ribuan kilo. Ibu yang masih setia berada di kampung halaman. Sebuah desa atau kampung yang berada di Sumatera Barat sana. Sementara aku, anaknya, jauh di rantau, Pekalongan, daerah pantura Jawa Tengah.

Sudah dua tahun saya tidak bertemu ibu. Terakhir ibu datang ke Pekalongan saat aku menikah. Gurat ketuaan begitu kentara di usia beliau yang telah lebih dari 70 tahunan.

Biasanya bila rindu datang, aku menghubungi ibu lewat pesawat handphone. Rasanya ingin menangis bila suara ibu yang serak kembali menggetarkan ruang telingaku. Ada hawa sejuk mendengar nasihat yang ibu berikan. Ibu selalu begitu. Tak peduli anaknya sudah menjadi orang tua dan punya istri serta anak.
***

Sejak bapak meninggal, praktis ibu berjuang sendiri menghidupi anak-anaknya (saya dan saudara-saudara saya). Bapak meninggal saat saya berusia 10 tahun, saat masih duduk di bangku SD kelas IV. Banyak yang menyarankan agar ibu menikah lagi. Tapi saran-saran yang diberikan hanya ditanggapi ibu dengan senyum. Kecintaan ibu pada mendiang bapak dan anak-anaknya mengakibatkan ibu tak mau membagi rasa kasihnya kepada lelaki lain. Ibu terus menjanda, membagi perhatian secara penuh pada anak-anaknya.

Bagi saya, ibu sosok pekerja keras. Ibu memang tak pernah bersekolah dan tidak bisa tulis baca. Akan tetapi, perhatian pada pendidikan, dunia sekolah, telah mendorong ibu untuk bersikap tegas: anak-anaknya harus bersekolah. Alhamdulillah, pesan mendiang bapak selalu diingat dan diterapkan ibu dalam kenyataan. Sesulit apapun, pendidikan harus nomor satu. Anak-anaknya –yakni saya dan saudara-saudara saya – harus sekolah.

Rata-rata tamat SMP atau SMA kami, anak-anak ibu, pergi merantau. Melanjutkan pendidikan atau mencari kerja. Dua anak ibu (nomor 2 dan 3) setelah merantau, kembali ke kampung halaman. Saya sendiri sebagai anak kelima merantau ke tanah Jawa setelah selesai kuliah. Dalam pencarian diri akhir 1996, setelah beberapa bulan di Jakarta, jadilah saya kemudian menetap di pesisir utara pulau Jawa, yakni Pekalongan.

Tahun 1997 awal saya mula menetap di Pekalongan. Hingga kini berarti sudah 11 tahun.

Beberapa kali saya pulang ke kampung, bertemu dengan ibu dan sanak saudara. Melepas rindu pada ibu. Namun bila telah kembali ke pulau Jawa, kidung rindu pada ibu tetap menderu dalam kebeningan jiwa.

Terakhir saya pulang tahun 2002. Sejak itu saya belum lagi melihat kampung halaman. Tetapi untunglah, saya selalu bisa berjumpa dengan ibu. Ibulah yang berkunjung ke Pekalongan, setelah sebelumnya mampir di tempat famili lainnya di Jakarta. Hampir tiap tahun ibu berkunjung ke tanah Jawa.

Ada keinginan pulang ke Sumatera. Keinginan pulang bersama istri dan anak. Mungkin saja itu akan bisa terlaksana saat Putra, anak saya, berumur 2 tahunan. Jadi ya, harus menunggu dulu.

Kini, di daerah utara pulau Jawa, kidung rindu itu terus bergemuruh, berbantun-bantun, menelusup setiap desah napas. Gemuruh yang kian menderu manakala tembang “Ibu” di atas dilantunkan Iwan Fals. Begitu indah, begitu sahdu.

Dan di bebukitan Sengare, rinduku kian menggemuruh, bersama kidung kasih yang tetap mendayu-dayu.

dari arsip catatan di http://zulmasri.wordpress.com 31 Januari 2009